Aku itu baru aja nontonin karya besar yang bagus - “Perempuan Berkalung Sorban”. Kapan nungguin tayangannya disini aja udah basi. Kalau disana itukan tayangannya di bioskop since bulan Januari lagi. Emang lebih seru kok nontonin dibioskop tapi harus gimana…. Dvd aja udah cukup ah! Ini lagi ehsanan temanku. Pinjaman…. pahala…. hehe..
Secara sengkat, aku sangat terkesan dengan kisah ini yang secara total merangkap tentang agama, nuansa kehidupan, kebebasan dan kasih sayang. Aku nggak bisa sama sekali dari tidak menangis sepanjang penceritaan ini berjalan. Renggapan karakter yang kuat, motif cerita yang utuh, jelas lagi terang dan kepintaran sinematornya dalam mensignifikasikan keindahan suasana alam ciptaan Allah sang yang Maha Agung.
Buktinya, petikan dari akedemitas di sana juga turut memberi pendapat positip bahawa “Salah satu kekuatan filem ini adalah pesannya karena ia mengangkat realitas sebagian masyarakat kita yang masih membelenggu, melecehkan dan merendahkan martabat kaum perempuan. Filem ini juga sesuwei dengan ajaran agama, khususnya Islam yang sangat menghargai dan memberi tempat yang terhormat bagi kaum perempuan”.
Makanya aku juga bisa ngerti kok pada saat Anisa ditakdir Allah untuk bersama dengan Khodori, lek keponakan sebelah ibunya yang tidak sedarah. Khodori seorang pria yang sangat budiman, lemah lembut bicaranya, punyain peribadi yang cantik, dan hatinya ikhlas mencintai Anisa. Jadi iya, terus terang aku akuin emangnya aku pernah ngenalin sasaorang yang dulunya menuntut ditanah Jawa. Dia mengajar aku untuk bangun dari kesilapan silam. Dalam diam aku kagumi ketokohan yang sedia wujud dalam tubuhnya sebagei pemimbing. Pemikiran yang bijak. Humble. Sangat realitas. Punya masalah silam yang mirip (ini penting banget kok!). Seneng bicaraan tentang apa saja. Lucu. Bisa fahamin aku yang sangat konflikasi ini...;p Jelas….iya – hatiku emang terpaut pada dia.
Tetapi harapan untuk bahagia yang dititipin Allah taala itu hanyalah sebentar. Khodori, insan ketiga yang amat dicintaiin Anisa selepas ummi dan abinya, bertemu kecelakaan dan maut. Sedih bukan lagi perkataan yang mampu digambarin dalam kekecewaan dia. Efeksinya sama doang ke aku. Aku sekali lagi rebah. Makin ku persoalin kenapa ini harus terjadi. Ironinya nggak ada apa-apa masalah cuman inilah namanya takdir. Hingga sekarang aku masih kangen sama dia.
Waktu berkulir dan aku semakin redha dengan ketentuan Tuhan. Aku pikir aku butuh dia (secara fizikal) dalam hidupku. Ternyata nggak. Aku pantas deh berjalan sendiri. Seperti Anisa bersama puteranya, Mahbub yang memanjangkan semangat suaminya untuk berbakti demi membawa modernisasi kepada santri-santri di Pesantren Al-Huda.
Aku tidak penah setop ingatin diriku bahwa bantuan Allah itu sentiasa ada. Pokoknya kita tidak harus jemu meminta pada Dia, karena nikmat itu datang bersama sifat sabar & redha.
Islam itu indah dan mudah. Jadi jangan coba sulitin penyempurnaannya dengan kemunduran mentalitas kita. Manusia itu dicipta berbeda-beda. Makanya pendekatan untuk bertabligh itu juga harus berlainan dong. Iyakan……… ;)
My last word, hasil kerja yang cukup luar biasa dari penulis asalan cerita ini kepada direktor kepada aktor-aktor kepada semua krew yang terlibat dalam keberhasilan filem “Perempuan Berkalung Sorban” – HUGE congratulations untuk kalian! Seruuu banget!